Masukkan iklan disini!

Sejauh Mata Memandang Papua

Photo by: rebeccaandteheworld.com
Aku adalah Papua 
Aku adalah Maluku 
Akulah Nusa Tenggara 
Akulah Sulawesi 
Suara dari kemiskinan yang tak pernah berujung 
Semenjak Republik ini berdiri 

Tanah kami tanah kaya 
Laut kami laut kaya 
Kami tidur di atas emas 
Berenang di atas minyak 
Tapi bukan kami punya 
Semua anugerah itu kami cuma berdagang buah-buah pinang 

Kami tak mau bersalah pada anak-anak cucu 
Harus ada perubahan

(Suara Kemiskinan –Franky Sahilatua)

Assalamualaikum wr wb!
Saya ke Papua (Barat) mengikuti Munas XIII ISMKMI. Pertama kali atas nama BEM FKM KM Undip saya terlibat Munas ISMKMI. Pertama kali juga saya menginjakkan kaki di Papua ketika mendarat dengan selamat di Bandar Udara Domine Eduard Osok kota Sorong, Papua Barat, hari Minggu (10/2). Papua, sebagaimana diilustrasikan oleh almarhum Franky Sahilatua dalam lagu Suara Kemiskinan di atas, memang kondang karena buah-buah pinang –dan ironisme pembangunan.
Papua, khususnya Papua Barat –terutama lagi Sorong, menurut saya adalah daerah yang cepat berkembang. Sebagai gambaran, Anda boleh bepergian ke Bojonegoro, kota kabupaten di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau Anda singgah di kota kecamatan Cepu, di satu sisi jembatan yang menghubungkan Blora dengan Bojonegoro, Anda sudah pasti menemukan Sorong, yang kira-kira tiga kali lebih besar dengan konsep tata kota yang sama –memanjang. Bedanya, kalau Cepu mengikuti daerah aliran Bengawan Solo, Sorong memanjang sepanjang semenanjung “Kepala Burung” Kepulauan Papua.
Saya bahkan berani memberi garansi bahwa asumsi Anda akan menempatkan Sorong di Papua Barat sebagai daerah yang lebih “kota” ketimbang Bojonegoro di Jawa Timur, jika rampung mengunjungi keduanya. Sorong punya mall di tengah-tengah kota, Bojonegoro tidak. Papan-papan reklame beserta produk-produk kebutuhan hidup dari merek kenamaan invansif secara variatif di tanah orang-orang hitam-keriting. Saya berpendapat ekonomi orang-orang Sorong memang berputar dalam stabilitas yang mengejutkan. Meskipun bisa jadi sangat rapuh karena menempati bangunan pasar yang keras dengan harga-harga selangit. Saya tidak tahu apakah pemerintah di sana memiliki kebijakan tertentu soal harga-harga kebutuhan pokok atau tidak. Yang jelas, untuk barang kebutuhan pokok yang sama misalnya, harga di Sorong bisa sampai tiga kali lipat dibanding di Cepu atau Bojonegoro.
Sorong, Papua Barat sekejap memang jadi idola baru setelah Manokwari, Jayapura dan Merauke. Hasrat yang besar masyarakat Sorong untuk merebut kesetaraan (dan kesejahteraan) menurut saya telah secara kolektif mendorong Sorong menjadi kawasan industri yang majemuk dan modern. Batasan-batasan budaya segera tereduksi dengan keterbukaan informasi dan jaringan produk kebutuhan yang masuk ke Sorong secara massif. Kemajuan yang sangat berpotensi sekaligus memberi peluang atau menghancurkan, terlebih jika tidak didasari dengan upaya-upaya pelayanan publik yang prima dalam hal pengembangan SDM pribumi Papua Barat, termasuk soal kesehatan dan pendidikan.
Pembangunan industri yang tidak melihat aspek pengembangan SDM pribumi Papua Barat adalah bom waktu. Masyarakat dalam sebuah periode yang singkat umumnya merasakan keuntungan praktis pembangunan yang didengung-dengungkan equivalen terhadap kesejahteraan karena menerima bonus-bonus langsung pembangunan, seperti : tersedia jalan aspal, lapangan pekerjaan dan lain-lain. Tetapi sebagaimana yang sudah-sudah, pembangunan tanpa upaya melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh sama dengan marginalisasi gaya baru –seolah-olah mensejahterakan, tetapi sebenarnya memenjarakan.
Karena sudah hampir pasti sumber-sumber pokok kesejahteraan yang menjadi objek pembangunan dikuasai hanya oleh segelintir korporasi bermodal dan birokrasi lapar. Saya berasumsi distribusi kesejahteraan adalah fatamorgana di Papua. Masyarakat Sorong, nyatanya, masih harus membayar 500 ribu rupiah untuk mendapat pemeriksaan kesehatan bahkan di daerah yang temperatur politik dan ekonominya relatif stabil, dengan seorang wakil wali kota yang adalah dokter. Belum lagi pendidikan, ijin pendirian usaha dan pelayanan publik lainya. Saya memang tidak melakukan crosscheck secara langsung, tetapi itu yang saya lihat terjadi di Papua Barat dan daerah-daerah lain di timur Indonesia. Anda pasti mencermati juga kasus-kasus kisruh Freeport, Newmont dan penembakan-penembakan separatis dengan reevansinya terhadap distribusi kesejahteraan, bukan?
Masyarakat Papua bagi segenap kacamata saya, telah dan sedang terus mengalami pendangkalan sumber daya alam dan manusia. Kebudayaan-kebudayaan asli Papua secara sangat cepat dan transformatif digantikan dengan kebudayaan modern yang dibawa masuk oleh globalisasi, bernama industri tanpa memandang upaya-upaya konservasi nilai-nilai atau pola-pola mendasarnya. Saya takut suatu ketika masyarakat Papua sampai pada titik di mana mereka sudah sama sekali tidak mengerti bagaimana hidup dan kehidupan harus dibentuk, eksis dan ditujukan. Masyarakat yang dulu ke hutan sekali dalam sebulan untuk mencabut tumbuhan-tumbuhan pangan sesuai kebutuhan mereka, sekarang berganti masyarakat yang sebulan sekali ke kantor menerima uang gaji karena dibuat harus seperti itu. Sementara hutan-hutan tempat mereka menanam diberangus untuk dibangun sumur-sumur pengeboran, kantor-kantor dan gedung-gedung. Saya bukan pendukung paham konservatif, namun tidak ada yang lebih baik di Papua selain meninjau kembali manifestasi kebijakan pembangunan yang terkesan emosional untuk memberi tahu sesiapa bahwa Papua bukan anak tiri, tanpa memperhatikan bagaimana kearifan lokal berlangsung di sana.
Sampai pada saat merintang ombak tiga meter di perairan Sorong-Raja Ampat, saya menaruh perhatian kepada masyarakat Papua yang terancam kapitalisasi korporasi dan kepentingan bisnis. Saya mengandai-andai bilamana pembangunan kawasan timur Indonesia melalui pendekatan yang lebih memanusiakan masyarakat di sana, negara bisa pelan-pelan menata aspek-aspek pendidikan, kesehatan dan pelayanan-pelayanan publik lain di Papua sebagaimana fungsi-fungsinya yang mendasar sama baiknya dengan yang di Surakarta, Jawa Tengah, misalnya. Kalau saja pembangunan didasarkan pada tujuan untuk bagaimana “membebaskan” dan melibatkan masyarakat Papua secara aktif pada upaya mensejahterakan dirinya sendiri, saya berpikir orang-orang Papua tidak akan mengadu tombak dan main bakar kantor pemerintahan. Karena setidaknya tendensi itu telah diminimalkan.
Kalau pembangunan yang bernafaskan pemberdayaan secara menyeluruh dilakukan, saya percaya manusia Papua akan berkembang menjadi manusia yang lebih humanis, berpendidikan dan madani. Bukan masyarakat yang menghadang dua orang pengendara motor karena sekadar bertatapan wajah dan saling pandang. Bukan pula yang menghardik karena perbedaan agama. Dan bukan pula yang memutar audio music keras-keras di tiap-tiap angkutan kota berkecepatan tinggi.
Mimpi Papua adalah mimpi anak-anak Indonesia di daerah lain yang masih kering perhatian. Mimpi anak-anak Mesuji, mimpi anak-anak Poso, mimpi saya juga. Bisakah mimpi mencapai masyarakat sehat-sejahtera terwujud? Tidak ada yang sulit di Indonesia. Papua atau Jakarta sama saja. Kesehatan, pendidikan, kesejahteraan harus dibangun atas dasar mencapai tujuan kemerdekaan. Alineasi keberadaan hutan pohon-pohon setinggi Monas di sepanjang jalan menuju Waiwo beach and resort di Raja Ampat dengan upaya mendistribusikan kesejahteraan adalah sama dengan mengabaikan surga kecil jatuh ke bumi. Orang tidak boleh diskriminatif kepada Papua karena angin dan ombak menantang sesiapa.
Saya bahagia menjadi bagian berkat kota Injil, Sorong, Papua Barat. Saya bertemu Yarmes Kogoya, bersua dengan gunung-gunung dan nyamuk-nyamuk. Saya juga mengunjungi Raja Ampat. Saya jatuh hati kepada matahari yang terbit pada setiap pagi di Papua, yang memberi saya isyarat ia akan tenggelam, terbit, tenggelam, terbit lagi sampai Indonesia Raya tiada habis berkumandang di seluruh dataran dan laut maha kaya. Sekian. (Riyan Aprilatama)
Photo by: Riyan

No comments