Masukkan iklan disini!

Netizen Anggap Sensor Berlebihan, LPM Gema Keadilan Ajak Ngopi Bareng

Photo: PH
          Sensor yang kian marak membuat netizen pada akhirnya ikut membicarakan terkait kebijakan sensor KPI yang mencuat akhir-akhir ini. Padahal, kebijakan sensor tersebut bukanlah hak KPI, melainkan KPI adalah lembaga independen di Indonesia sebagai regulator. Sensor yang dianggap berlebihan oleh netizen tersebut agaknya perlu dibahas lebih lanjut. Hal tersebut mendorong LPM Gema Keadilan (GK) FH untuk Ngopi (Ngobrol Pintar) bersama.
GK mengundang seluruh LPM yang ada di Undip untuk ikut Ngopi bersama pada Kamis, 24 Maret 2016 pukul 15.30 di Lab.101 Gd. Litigasi Fakultas Hukum. Acara Ngopi ini menghadirkan pembicara-pembicara yang berkompeten dalam isu sensor ini, yakni Setiawan Hendra Kelana selaku Komisioner KPID Jawa Tengah, Noviar Jamaal Kholit selaku Produser News Net TV, dan perwakilan Aliansi Jurnalis Independen Semarang.
Kebijakan sensor KPI dianggap berlebihan, pasalnya sensor ini tidak hanya dilakukan kepada stasiun TV yang menayangkan adegan seksual, melainkan terhadap siaran Putri Indonesia, kartun animasi, juga siaran berita. Namun, dikeluarkannya surat edaran mengenai pelarangan tayangan yang berbau LBGT kepada seluruh direktur utama lembaga penyiaran tampaknya lebih menarik perhatian netizen.
Produser Net TV, Noviar Jamaal Kholit tersebut mengatakan mulai sekarang senjata tajam, rokok, maupun darah sudah disensor. Tontonan seperti Upin Ipin pun seringkali tidak disadari oleh para orang tua mengandung unsur LBGT. Dengan begitu, peran orang tua sangat penting untuk mendampingi buah hati dalam menonton setiap tontonan anak.
Maraknya tontonan televisi yang menyandang nama remaja, namun adegan di dalamnya justru tidak sesuai menjadi perhatian khusus KPI. Tuntutan rating pada stasiun televisi menjadikan pemilik program mengabaikan kode etik penyiaran. Melihat kasus yang demikian, KPI langsung bertindak dengan tidak menayangkan adegan pacaran menggunakan seragam sekolah.
Lalu, mengapa baru sekarang sensor mulai ramai diperbincangkan? Padahal sudah ada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sudah belasan tahun terlewati.
“KPI mengikuti perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Pada tahun 2009 tercetus P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran), kemudian diperbaiki lagi tahun 2012, sampai Rakernas. Masyarakat pada umumnya tidak paham, maraknya sinetron sekolah, adegan-adegan cabul, sampai LGBT membuat sensor sangat diperlukan. Hal tersebut yang membuat ramainya sensor baru sekarang.” ungkap KPID Jawa Tengah, Setiawan Hendra Kelana.
“Mengenai surat peringatan yang melarang adanya unsur LBGT pelaku seni seperti Didik Nini Thowok, Ivan Gunawan juga memang bidangnya seperti itu, namun sebenarnya tidak LBGT, hal itu kembali lagi kepada masing-masing program televisi itu sendiri,” tambah Setiawan.
KPI juga sudah melakukan langkah konkrit untuk mengawal penyiaran mulai dari peneguran, pembekalan SDM penyiaran, Literasi KPI Jateng, sampai aduan yang bisa disampaikan masyarakat melalui SMS.
Dari sudut pandang jurnalistik, tidak bisa dipungkiri adanya kepentingan politik yang juga menuntut media harus menyajikan informasi untuk masyarakat secara benar, tanpa embel-embel salah satu nama besar pemangku jabatan.
“Media sebagai wadah penyaluran informasi kepada masyarakat seringkali terjadi manipulasi, informasi yang disebarkan berbanding terbalik. Adanya kontrol masyarakat inilah yang dinilai sangat penting untuk memilah informasi mana yang benar, mana yang patut ditonton. Masyarakat juga perlu mengambil tindak lanjut apabila terjadi pelanggaran, KPI sebagai wadah masyarakat untuk mengajukan laporan tidak bisa dianggap sepele. Terlebih perkembangan IT membuat infomasi menyebar lebih cepat dari media berita. Oleh karena itu, media harus terbuka dalam menyajikan setiap informasi yang mencuat.”, tutup Ari, Aliansi Jurnalistik Independen Semarang (Heni Purnamasari) 

No comments