Masukkan iklan disini!

Ketika Ekspresi dianggap Represi: Suara Rakyat Lebih Menakutkan Dibanding Korupsi di Negara Ini




sumber: okezone.com

Meme Digital, Tangan Diborgol: Negara Takut Diejek

Sebuah unggahan meme satir yang digarap dengan teknologi kecerdasan buatan telah menjadi awal petaka bagi SSS, mahasiswi Institut Teknologi Bandung. Dalam gambar itu, dua tokoh besar—Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi—digambarkan tengah berciuman, sebuah simbol satir terhadap relasi kuasa dan kompromi politik pasca pemilu. Namun yang direspons negara bukanlah substansi kritiknya, melainkan bentuk visualnya. Negara tidak menanggapi sindiran itu dengan argumen, tapi dengan pasal-pasal karet, tuduhan kesusilaan, dan pelabelan sebagai manipulasi elektronik. UU ITE, senjata pamungkas penguasa yang sudah terbukti berkali-kali jadi alat pembungkam, kini digunakan kembali untuk menyeret mahasiswa. Penangkapan SSS pada 7 Mei 2025 membuktikan bahwa negara ini lebih siap menangkap tawa dibanding menangkap koruptor. Inilah bukti bahwa yang dilawan oleh penguasa bukan kebohongan, tapi keberanian!


Pasal Karet, Hukum Sesat: Kebebasan Jadi Tumbal

Penangkapan SSS membangkitkan gelombang kritik dari masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi HAM internasional seperti Amnesty International. Namun negara tetap berdalih: ini soal penegakan hukum. Tempo melaporkan bahwa meskipun SSS akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan, ia tetap berstatus tersangka. Artinya, jerat hukum tetap menggantung, siap menjerat siapa pun yang bersuara "salah." Tapi yang lebih salah adalah logika hukum yang dipakai: bahwa ekspresi bisa dianggap menyimpang, bahwa gambar bisa dianggap ancaman, bahwa kritik bisa dipenjara. Bukankah yang seharusnya diadili adalah mereka yang merampas hak hidup rakyat, bukan mereka yang mengunggah meme? Bukankah penguasa yang anti-kritik justru menunjukkan betapa lemahnya kekuasaan itu sendiri? Jika hukum digunakan untuk menakuti rakyat, maka hukum itu bukan lagi alat keadilan—tapi alat represi!



Etika bukan Alasan untuk Membungkam!

Tentu dalam negara demokratis, kritik adalah hak rakyat yang sah. Tapi bukan berarti kritik dijalankan tanpa prinsip. Kritik yang baik tidak lahir dari kebencian, tapi dari keberpihakan pada keadilan. Ia tidak bertujuan menjatuhkan harga diri pribadi, tapi mengungkap ketimpangan dan penyalahgunaan kuasa. Humor atau sindiran tajam bisa menjadi alat kritik, selama tidak menjadikan kebencian dan pelecehan sebagai pijakan. Namun, batas etika kritik tidak boleh ditentukan oleh sensitivitas penguasa yang anti-dikritik, melainkan oleh kesadaran bersama untuk membangun masyarakat yang adil. Jika suara kritis dibungkam hanya karena “tidak sopan,” maka yang sedang dibela bukan etika, tapi ego penguasa. Etika dalam kritik harus lahir dari nurani yang melawan penindasan, bukan dari rasa takut kepada kekuasaan


Kebebasan Tercekik, Demokrasi Terkubur: Hanya Ada Satu Kata, LAWAN!

Kita harus sadar, ini bukan soal suatu unggahan. Ini soal siapa yang punya hak untuk bersuara di negeri ini. Ketika mahasiswa dijerat hanya karena menyindir penguasa, maka tak ada lagi ruang aman bagi ekspresi. Negara telah menjadikan ruang digital sebagai ranjau darat yang bisa meledak kapan saja. Ini bukan demokrasi digital, ini represi digital. Dan dalam keadaan seperti ini, diam bukanlah sikap netral—diam adalah bentuk persetujuan terhadap kekerasan simbolik dan nyata yang dilanggengkan oleh negara. Meme bukan ancaman, tapi pemikiran bebas adalah musuh kekuasaan yang anti-rakyat. SSS hanyalah permulaan—besok bisa jadi siapa saja dari kita. Maka, kita tidak punya pilihan lain selain bersatu, menyuarakan perlawanan, dan meruntuhkan ketakutan yang sengaja ditanamkan penguasa. Karena kebebasan tak pernah datang dari permohonan, tapi dari perlawanan yang berani!

HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT!
HIDUP PEREMPUAN YANG MELAWAN!



Referensi:


No comments