Masukkan iklan disini!

Karya Pemenang Sayembara Puisi LPM Publica Health 2025

Kita Tekukur yang Sampai Kapanpun Lengkara Lajang

Karya Vania Kharizma Satriawan

Universitas Slamet Riyadi 


detik menyamar jadi kelopak bunga yang kian gugur

ketika bulan terbunuh di lanskap wajahmu bertafakur

menampakkan pagi tiba menyedekahkan waktu akur

bagi kita: sepasang tekukur yang berangsur aur.

 

i.

Bagaimana petuah yang diderma pitarah

terarsip di rute puluhan arah, menjaga sayap kita senada menuju rumah?

Semenjana, kau mafhum dialektika begitu bineka, dan karsa kita beranjangsana

—ke liyan sangkar, merdu tuitmu pun lain dari lengking paruhku bersajak ria.

ii.

Akankah tengkar bersemayam dalam hangat sangkar yang kita tata?

Kala petang menghambur ke semenanjung, tanah menghuninya doa,

tanah bersemainya cinta yang kita teroka di ingatan, menjelma monumen meta

walau tak seluas tubuh pertiwi, yang menyusurinya tak kuasa sekali kelana. 


iii.

Terkait tubuh itu, betapa cengkerama bagai perahu berlayar tak jua bersauh

ia mengaransemen kidung debur bena yang bertautan sajak nelayan puguh

—mengungkai temali takdir sebagaimana istiadat menafkahi kulasentana,

dan bahasa: sampan yang berjuang sampai ke jazirah makna.

iv.

Sedang, kata berpinak baka hingga ajal mematahkan sayap kita

ia memanglah sampan, jua umban di ketapel yang dibungkus jadi soneta

—oleh penyairnya, menganut petuah pitarah mengayom majas sedari purba.

Lantas, akankah kita kuasa bila langgam di paruh kita beda?


v.

Biar berjuta walau, kita tetaplah sepasang tekukur yang sukar dihalau

meski nasib menyaru angin, membuntungi dahan sangkar bagi telur-telur,

kita lengkara lajang dan berlengkesa oleh masa, selagi rasam begitu ragam

angkasa tetaplah esa bagi ketujuh rona pelangi yang tiba mengindahkan alam.


Surakarta, 20 Oktober 2025. 

No comments