Masukkan iklan disini!

Aku Sih #SayNoToGolput, Kalau Kamu ?


(Sumber : Dokumen Pribadi).
 Proporsi perolehan suara dari generasi millennial sangat besar, namun sayangnya banyak yang bangga dengan pilihan golput mereka. Sebagai agent of change, dengan mengabaikan pesta demokrasi tahun ini sama saja dengan pengabaian pada Negara selama 5 tahun mendatang.

17 April 2019, pesta demokrasi terbesar rakyat Indonesia akan digelar. Banyak peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat, salah satunya mengenai generasi millennial dimana pada tahun ini menjadi tahun pertama mereka menyumbangkan suara dalam pemilu. Pemilu tahun ini bukan hanya memilih Presiden dan Wakil Presiden saja, namun juga meliputi DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPD-RI, dan DPR-RI maka dari itu satu suara sangat berpengaruh demi kemajuan Indonesia selama 5 tahun mendatang. Namun sayangnya, akhir – akhir ini di media sosial banyak ditemukan tagar #SayaGolput dan ironisnya mayoritas yang menggunakan tagar tersebut adalah generasi millennial. Untuk itu, mari simak sedikit penjelasan dari kami.
LSI (Lembaga Survei Indonesia) memperkirakan ada 40-50 % pemilih masuk kategori millennial pada Pemilu 2019. Mereka yang termasuk kategori millennial, yakni pemilih pemula dan pemilih muda. Suara pemilih millennial dalam Daftar Pemilih Tetap KPU proporsinya sekitar 34,2 % dari total 152 juta pemilih dan keberadaannya kerap disebut bakal menentukan arah politik bangsa Indonesia ke depan. Sehingga, banyak yang dipasang calon-calon pemimpin dari daerah sampai ke pusat mengambil peran dengan figur muda yang menyesuaikan gaya millennial.
Mantan Direktur LBH Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Algiffhari Aqsa menyebutkan, ada beberapa alasan masyarakat memilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dalam Pemilu 2019, antara lain :
1. Karena tidak peduli terhadap politik alias apolitis. Hal itu dinyatakan Alghif saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
"Ada yang golput memang karena apolitis. Enggak peduli dengan siapa pun presidennya, hidup akan begini-begini saja," kata Alghif.
2. Golput politis. Menurut Alghif, mereka yang golput politis biasanya disebabkan dua hal yakni karena calon legislatif atau presidennya tidak ada yang baik menurut penilaian mereka dan tidak percaya pada sistem politik yang ada.
3. Ada juga golput yang sama sekali tidak percaya dengan sistem demokrasi perwakilan, tapi hanya percaya pada sistem demokrasi langsung.
"Yang ini memang jumlahnya tidak terlalu banyak ,tapi ini juga golput politis yang punya signifikansi dan resonansi yang luar biasa juga," ulas Alghif.
4. Ada juga orang yang tidak bisa memilih karena buruknya teknis Pemilu atau pun karena memang dihalangi oleh majikannya.
5. Karena tidak kenal siapa caleg di daerahnya. Banyak dari generasi millennial yang menjadikan alasan ini untuk golput. Mereka menjadi masa bodoh karna menganggap tidak mengenali background dari caleg tersebut.
6. Bagi mahasiswa yang perantauan, merasa ribet mengurus formulir A5. Alasan ini juga didasari pada sifat generasi millennial yang suka mager dan ingin instan. Beralasan sibuk kuliah dan organisasi, mereka yang berstatus mahasiswa rantau enggan mengurus formulir A5 yang berarti mereka tidak bisa menyumbangkan suaranya saat pesta demokrasi esok.
-Sikap golput dari generasi millennial kayak abai dengan narasi bahwa kalau kita tidak bisa memilih yang terbaik, paling nggak bisa milih yang paling mending-.
Beberapa mahasiswa millennial di Jakarta sempat berargumen bahwa kedua Paslon Capres dan Cawapres sibuk sebar hoax dan ujaran kebencian. Bahkan, ada yang mengatakan, dua kelompok tersebut malah tidak mengampanyekan programnya. Sekelompok golongan muda tersebut merasa kecewa, kok di jagat publik program-program yang mau dijalankan tidak banyak dibicarakan?  Mereka merasa risih dengan adanya narasi yang memecah-belah. Bahkan, ketika membuka medsos, ada yang merasa tidak nyaman. Kalau dibilang, kelompok muda seperti ini cenderung gampang baper dan kurang tangguh.
Lalu karena merasa putus asa dengan keadaan, ada beberapa generasi millennial memilih apatis. Sebab sikap ini tidak bisa benar-benar mengubah keadaan. Marah terhadap hoax memang diperlukan, tapi abai lalu jadi apatis? Hm, sepertinya kok itu bukan solusi. Dalam dunia digital seperti ini, jangan sekali-kali kita berharap agar keriuhan ini segera hilang tanpa keterlibatan generasi milenial.
Kalau ada konten yang terverifikasi ya distribusikan. Kalau ada konten bohong, ya nggak usah sebar. Kalau ada konten yang menghina, abaikan—kalau perlu laporkan. Setidaknya, sebagai millennial, berusaha aktif saja lah lebih dulu. Kalau ini eranya kita, sudah saatnya kita melawan balik. Jangan menyerah seolah dunia ini mau runtuh. Dalam kadar tertentu golput merupakan sikap pengecut, tanda orang yang mengalah, dan merupakan pertanda orang yang sudah putus harapan. Bagaimana bisa kekecewaan terhadap politik dilawan dengan golput? Sebab sekali pun kita golput, dengan tidak memilih si A dan si B, negara juga harus tetap berjalan bukan?
Kalau memang sistem atau negara harus tetap berjalan, setidaknya pilih saja paslon yang memiliki kelebihan terbanyak atau keburukan tersedikit, sehingga dari keduanya muncul pemimpin yang terbaik—atau yang paling mending.
Ide golput lahir dari pemikiran orang yang menganggap bahwa pemerintahan hanya boleh diurus oleh pemimpin yang sesuai dengan konsep ideal kelompok mereka sendiri—tanpa mau bernegosiasi dengan realitas yang ada. Padahal, dalam konteks demokrasi, masih banyak kelompok masyarakat yang kritis. Masih ada pers yang siap mengawal janji-janji politisi setiap hari. Masih ada lembaga-lembaga sipil independen yang siap mengawal pemerintahan. Sikap golput seolah-olah melihat tidak ada lagi jalan keluar dan memandang cuma mereka saja yang punya konsepsi ideal. Lalu ketika konsep ideal tersebut tidak bisa diterapkan, terus menyalahkan realitas di lapangan.
Oleh karena itu, untuk memilih pemimpin ter-mending, sebaiknya kita bergerak lebih aktif. Bersama teman-teman, ayo kita mendiskusikan berbagai hal dan cek profil tiap paslon. Lihat rekam jejak dan aktif cek program-programnya. jadilah milenial yang aktif. Alih-alih mengeluh pada situasi politik, beranikan diri untuk mengambil alih media sosial dan pengaruhi percakapan publik. Maka kalau mau situasi ini membaik, seharusnya bukan gerakan golput yang mengemuka. Kita bisa membuat gerakan yang berbobot, mengawal proses sebelum pemilu, dan memastikan narasi positif diketahui publik. Tidak peduli, kita semua akhirnya memilih siapa, tetapi di atas semua perbedaan tersebut, semangat kita untuk menjadikan diskursus politik yang lebih baik adalah pemersatunya. Jadi jangan lupa #SayNoToGolput.


No comments