Perampokan Berkostum Kebijakan: Ketika yang Berkuasa Makin Kaya dan yang Berkembang Makin Merana
Sumber: republika
Perang Dagang Jilid Dua: Nafsu Lama, Niat Baru
Donald Trump kembali mengguncang tatanan ekonomi dunia dengan rencananya untuk menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal China hingga 60%. Dalam wawancara dengan Fox News pada Februari 2024, Trump menyatakan bahwa jika terpilih kembali, ia akan mempertimbangkan tarif lebih dari 60% untuk semua barang impor dari China sebagai bagian dari upayanya untuk "melindungi industri dalam negeri" Amerika Serikat. Namun, langkah ini bukan sekadar kebijakan proteksionis, ini adalah manuver politik yang sarat kepentingan elektoral dan ambisi pribadi. Trump memainkan sentimen nasionalisme ekonomi untuk menarik simpati pemilih dalam negeri, sementara dampaknya menjalar jauh melampaui perbatasan Amerika. Kebijakan semacam ini memperlihatkan bagaimana kepentingan satu negara bisa mengacaukan stabilitas ekonomi global, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia harus bersiap menanggung konsekuensi dari permainan besar yang tidak mereka undang; ini adalah strategi geopolitik untuk mempertahankan dominasi ekonomi global Amerika Serikat.
Ketika negara adidaya menggunakan tarif sebagai senjata politik, dampaknya terasa di seluruh dunia. Nilai tukar dolar AS menguat tajam, sementara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, merasakan imbasnya. Menurut laporan IMF, penguatan dolar sebesar 10% dapat mengurangi output ekonomi negara berkembang hingga 1,9% dalam setahun, dengan dampak yang bertahan hingga dua setengah tahun. Di Indonesia, pelemahan rupiah akibat penguatan dolar menyebabkan lonjakan harga barang impor, memperburuk inflasi, dan menambah beban utang luar negeri yang dihitung dalam dolar. Akibatnya, rakyat kecil yang paling menderita, karena daya beli mereka tergerus dan biaya hidup semakin tinggi. Kebijakan Trump ini menunjukkan bahwa dominasi ekonomi global bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga soal kontrol atas kebijakan ekonomi negara-negara lain.
Dolar Menguat, Dompet Rakyat Melemah
Kenaikan tarif bukan hanya merusak arus perdagangan. Ia menciptakan efek domino: mata uang negara berkembang melemah terhadap dolar, karena investor global menarik modal dan memindahkannya ke AS. Indonesia tak luput. Biaya impor membengkak, bahan baku naik, dan sektor riil menjerit. Hal ini juga berdampak pada harga sembako, BBM, obat-obatan yang berbasis dolar ikut terkerek naik. Tarif Trump bukan cuma mengacaukan diplomasi dagang—ia menambah beban hidup rakyat Indonesia! Sementara elite ekonomi global bersulang di atas panggung politik, rakyat kita antre minyak goreng dengan dompet makin tipis.
Menguatnya dolar Amerika Serikat adalah bentuk penjajahan modern yang menjerat leher ekonomi Indonesia! Setiap kali dolar menguat, kita kian terpuruk—utang luar negeri melonjak, anggaran negara dicekik, dan nilai rupiah dihantam tanpa ampun. Barang impor makin mahal, harga kebutuhan rakyat melambung, dan kesenjangan sosial makin lebar. Ini bukan sekadar krisis mata uang—ini peringatan keras bahwa ketergantungan terhadap kekuatan asing adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan ekonomi bangsa. Sampai kapan kita rela jadi budak pasar global? Sudah waktunya kita cabut akar ketergantungan, bangun kekuatan nasional dari dalam, dan berdiri tegak di atas kaki sendiri. Kemandirian ekonomi bukan slogan—itu perlawanan!
Kapitalisme Gagap, Rakyat yang Menjadi Korban
Kapitalisme global selama ini dikemas seolah sebagai sistem yang adil dan terbuka, memberikan peluang setara bagi seluruh negara untuk berkembang. Namun, dibalik narasi indah itu, tersembunyi kenyataan pahit: sistem ini dikendalikan oleh segelintir negara kuat yang menyusun aturan main demi melanggengkan kepentingan mereka sendiri. Ketika Amerika Serikat merasa terdesak oleh persaingan, seperti dari produk-produk China, mereka tak ragu melanggar prinsip pasar bebas yang selama ini mereka gembar-gemborkan. Dengan semena-mena, mereka menaikkan tarif impor hingga puluhan persen, menunjukkan bahwa “keadilan” dalam kapitalisme global hanya berlaku jika tidak merugikan kepentingan mereka.
Negara-negara kecil seperti Indonesia menjadi korban yang paling nyata—terjebak dalam permainan besar yang tidak mereka pilih, tanpa kekuatan untuk menentukan nasib mereka di panggung ekonomi global yang dikendalikan oleh negara-negara kuat. Akibat dari kebijakan sepihak negara besar, nilai tukar rupiah terpukul karena penguatan dolar, harga-harga kebutuhan pokok meroket, dan rakyat kecil menanggung beban inflasi yang makin mencekik. Sementara elite global sibuk mempertahankan dominasi mereka, masyarakat miskin di negeri berkembang terus terpinggirkan dan dikorbankan. Ini bukan lagi sekadar persoalan ekonomi, melainkan bentuk kolonialisme baru yang membungkus dirinya dengan jargon modern. Kapitalisme global bukan solusi—ia adalah belenggu yang harus kita lawan demi keadilan dan kedaulatan sejati!
BERSAMA RAKYAT MEMBANGUN KEKUATAN, BERSATU PADU MELAWAN KETIDAKADILAN!
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!
HIDUP PEREMPUAN YANG MELAWAN!
Referensi:
Post a Comment