Masukkan iklan disini!

Haruskah Percaya Pada Obat Tradisional?

Photo : PH
Senin (28/9) calon AKK 2016 mengadakan sebuah bincang kajian kebijakan kesehatan yang disingkat dengan istilah “Biji Ketan”. Acara yang di selenggarakan di gedung E FKM UNDIP bersama Dra. Ayun Sriatmi, M.Kes selaku dosen AKK FKM UNDIP dan Riyan Apriliatama, SKM ini mengangkat sebuah tema “Periklanan Pengobatan Tradisional”.
Biji Ketan dan mengapa tema ini diangkat menjadi perbincangan karena maraknya iklan pengobatan tradisional yang apabila dilihat lagi seakan-akan menjadi bebas dan kurang tertib. Sehingga dari kami merasa penasaran dan ingin mencari tahu lebih mengenai standardisasi dari periklanan pengobatan tradisional itu sendiri. Harapannya juga agar kita lebih bijak dan selektif dalam menyikapi iklan pengobatan tradisional” tutur Indana calon AKK’16 selaku koor acara.
Hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat di Indonesia mempercayai obat tradisional sebagai media pengobatan. Disamping karena masalah ekonomi, terdapat pula alasan-alasan lain yang menarik minat masyarakat tetap menggunakan obat tradisional, seperti janji pada iklan, pengetahuan, serta kepercayaan yang sudah di tanamkan sejak dahulu. “Tidak mengherankan jika banyak iklan dari produk obat tradisional dipromosikan secara Bombastis atau secara berlebihan dan tidak realistis terkait janji-janji untuk sembuh lebih cepat di media massa seperti televisi,radio, dan media cetak. Tetapi jika di cermati, menggunakan media pengobatan tradisional tidaklah lebih cepat dibandingkan pengobatan konvensional. Dalam artian, pada promosi pengobatan tradisional yang menjanjikan proses sembuh yang cepat tanpa kita sadari mencampurkan bahan-bahan kimia yang sebenarnya merubah sifat obat bukan tradisional lagi. Melainkan konvensional dan tentunya mempunyai efek samping yang biasanya tidak di beritahukan pada konsumen,” tutur Dra. Ayun Sriatmi. “selain itu, pengiklanan obat tradisional kebanyakan tidak sesuai dengan etika periklanan, legalnya bahan belum dapat dipastikan, izinnya belum ada, serta tak jarang tidak merefleksikan kualitas yang diberikan”, ditambahkan oleh Riyan.
Ada niat baik dari pemerintah dalam menempatkan obat tradisional sabagai sarana pengobatan yang “sah” dengan mengandalkan permenkes dan SK Menkes. Pelayanan kesehatan tradisional menurut PP no 103 tahun 2014 yang isinya pelayanan kesehatan tradisional empiris, pelayanan kesehatan tradisional komplementer dan pelayanan kesehatan integrasi. Dalam regulasi dibutuhkan pinjakan, namun pinjakan itu tidak dapat direalisasikan sebab ada 15 peraturan pemerintah yang harus dikeluarkan dan kenyataannya baru 2 yang dikeluarkan. Karena kondisi tersebut, banyak produk-produk obat tradisional yang bebas mengiklankan produknya dengan berlebihan dan kurang dapat di pertanggungjawabkan sebab tidak adanya pembinaan dan pengawasan mengenai keobjektivan iklan dan kejujuran khasiat produk yang di tawarkan. Hingga saat ini juga belum ada pelatihan maupun pengertian kepada produsen/penjual mengenai cara memasang iklan obat tradisional yang benar.
Untuk kasus ini, solusi yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa yang bergerak pada bidang kesehatan adalah dengan membahas terus isu periklanan pengobatan tradisional yang berlebihan, karena dibalik itu semua ada masalah privat dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan pribadi agar menjadi bahasan di masyarakat umum, sehingga diharapkan masyarakat mengerti tentang layanan kesehatan yang hendaknya dapat di percaya. Kita pun seharusnya menjadi regulator di pemerintahan sebagai pemberi saran untuk peraturan pemerintah yang menangani masalah kesehatan mengingat kesehatan di Indonesia masih dianggap sebagai benda konsumtif dimana hanya dibutuhkan ketika sakit dan belum mempertimbangkan usaha preventif maupun promotif. Padahal jika dicermati, fokus dalam pengobatan kuratif berarti biaya yang dikeluarkan pemerintah juga akan lebih besar. Selain itu, dapat pula kita usahakan dengan mengubah mind setting untuk pemilihan obat yang tepat dimulai dari diri sendiri, keluarga, organisasi, lembaga, hingga masyarakat luas.
Di penghujung acara, moderator Inna Maullina menyimpulkan materi yang telah disampaikan, dan berpesan “Kita sebagai mahasiswa FKM hendaknya menyuarakan isu ini terus-menerus hingga suatu saat nanti kita dapat menjadi Policy Maker untuk membuat kebijakan periklanan obat-obat tradisional” (Annisa/Novena)

No comments