Masukkan iklan disini!

September Hitam, Bukti Pemerintah Tak Serius Tangani HAM?

sumber : dokumen pribadi


Keadilan. Barangkali keadilan adalah satu kata yang paling sensitif bagi sebagian besar orang, khususnya masyarakat Indonesia. Betapa tidak, jika pada orde baru banyak sekali aktivis hak asasi manusia yang memperjuangkan nasib bangsa ke depannya dan cenderung menentang rezim orde baru yang berkuasa kala itu harus rela hilang bahkan tak kembali atau kembali tetapi dalam keadaan tidak bernyawa. Lalu bagaimana realisasi HAM saat ini?

Berbicara tentang keadilan, tentu tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan mengenai Hak Asasi Manusia. Satu dari banyaknya pekerjaan rumah Pemerintah tentang realisasi Hak Asasi Manusia yang perlu mendapat perhatian serius ialah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang menjadi indikasi masih ada sebagian warga bangsa yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Banyak faktor yang menjadi pendorong persoalan pelanggaran di Indonesia, diantaranya Banyaknya peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan HAM dan sosial; eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia; lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM; rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM; serta minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip hak asasi manusia.

Simak berikut ini untuk mengetahui tragedi pelanggaran HAM yang telah terjadi di Indonesia

A. Gerakan 30 September 1965

Pada tanggal 30 September 1965, 7 perwira tinggi Angkatan Darat beserta beberapa orang lainnya dibunuh dan jenazah ditemukan di dalam sumur tua (Lubang Buaya) pada tanggal 3 Oktober 1965. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan nama Gerakan 30 September 1965.

Pemberontakan diawali oleh Letkol Untung yang merupakan anggota Cakrabirawa (pasukan pengawal Presiden) memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI. Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya. Jenazah mereka ditemukan selang beberapa hari kemudian.

Target utama dari tim pemberontak ini adalah panglima TNI AH Nasution, yang berhasil menyelamatkan diri, meski harus mengorbankan putrinya Ade Irma Nasution yang tertembak bersama dengan ajudannya yaitu Lettu Pierre Andrean Tendean. Setelah kejadian tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Jendral Soeharto untuk membersihkan seluruh unsur pemerintahan dari pengaruh PKI, yang kemudian dinyatakan sebagai dalang dibalik aksi G30S/PKI ini dan menangkap seluruh tokoh yang terlibat.

Namun, hingga kini kebenaran tentang siapa dalang akan kasus ini masih belum menemui titik terang. Berbagai macam spekulasi bermunculan akan peristiwa tersebut, termasuk soal keterlibatan Amerika Serikat dalam tragedi ini. Dalam film dokumenter berjudul 'Shadow Play' terdapat beberapa pengakuan dari perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia mengenai peristiwa tersebut. Beberapa bukti kiriman fax yang berisi rencana-rencana menggulirkan kudeta pun ditampilkan termasuk beberapa pengakuan para jurnalis asing.

b. Tragedi 1965-1966

Terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-1966 terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya, lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan lain sebagainya. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, terdapat sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban. Sementara beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta orang.

Keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai keluarga PKI. Penderitaan yang mereka rasakan diantaranya harus kehilangan pekerjaan, tidak bisa melanjutkan pendidikan, dikucilkan dari lingkungan hingga kesulitan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pemerintah Indonesia mengadakan simposium nasional 65 sebagai upaya pemerintah untuk membuat forum tandingan yang beberapa keputusannya bertolak belakang dengan hasil rekomendasi IPT. Luhut Binsar Panjaitan, Menko Polhukam saat itu mengatakan bahwa negara tidak perlu meminta maaf atas peristiwa 65 karena korban dari pihak tentara juga banyak.

Kini, tragedi pembantaian 65 sudah memasuki tahun yang ke-56, tetapi Negara belum juga mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban. Selain kemandekan pada proses hukumnya, hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban juga tidak kunjung diupayakan secara maksimal.

c. Tragedi tanjung priok

Peristiwa tanjung priok terjadi pada September 1984 yang melibatkan tentara dan warga tanjung priok Tragedi Tanjung Priok dihujani aksi penembakan yang menyebabkan 24 orang tewas dan 55 orang luka-luka. Persoalan itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. Siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila. Di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Babinsa lalu menindak hal tersebut dengan datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dan memakai air comberan dari got untuk menyiram dan mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah. Tidak terima, salah seorang dari kerumunan warga membakar sepeda motor milik tentara. Aparat segera bertindak mengamankan 4 orang yang diduga menjadi provokator dan penahanan tersebut semakin membuat massa kesal.

Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka. namun, menurut data dari Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi tersebut.

d. Tragedi semanggi

Selain Tragedi 65-66 dan Tragedi Tanjung Priok, September juga menjadi bulan dengan histori kelam, noda hitam bagi sejarah bangsa karena diwarnai dengan pembunuhan mahasiswa dan masyarakat saat Demonstrasi ramai dilakukan kala itu yang menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang ke sekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi merespons rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, karena dianggap bersifat otoriter tak jauh dari UU Subversif dan yang substansinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.

Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Aparat keamanan kembali melakukan penembakan kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakat yang menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi Jakarta. Korban luka-luka mencapai 217 orang. Represifitas aparat juga diberlakukan kepada mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia, tiga orang mahasiswa diantaranya, yaitu Yusuf Rizal (mahasiswa Bandar Lampung) dan Saidatul Fitira (mahasiswa di Lampung) serta Meyer Ardiansah (mahasiswa IBA Palembang).

e. Pembunuhan Munir Said Thalib

Berawal dari melambungnya nama Munir sebagai salah satu pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik oleh Tim Mawar dari Kopassus setelah masa tergulingnya Soeharto dari pemerintahan, Munir ternyata menjadi target pembunuhan selanjutnya. Banyak asumsi menyebutkan, dari Munir, kebenaran tentang kasus penculikan yang ada pada masa itu akan terkuak.

Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA-974 di usianya yang ke-39 tahun pada bulan September 2004. Dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, Munir meninggal. Ia sempat kesakitan sebelum menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Dua bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda mengungkap bahwa ia tewas akibat diracun. Kematian Munir menyeret berbagai pihak dari maskapai Garuda Indonesia.

Hingga kini, 17 tahun berselang, masih saja kasus pembunuhan Munir tak kunjung terkuak. Jelas, sengaja ditutupi oleh pihak-pihak yang menyelamatkan diri dari keterkaitan pada kasus tersebut. Begitulah, keadilan di Indonesia. Disingkirkan karena benar dan telah telah membantu memperjuangkan HAM.

f. Reformasi dikorupsi

Mahasiswa di seluruh Indonesia berkumpul pada bulan September 2019 dengan melakukan perelawanan-perlawanan (aksi) di berbagai daerah, bukan hanya di daerah-daerah tetapi juga di jakarta, yang pada saat itu sebagai suatu pusat gerakan dan juga sebagai suatu titik untuk berkumpulnya mahasiswa untuk menurunkan suatu masa yang di sebut rezim orde baru yang dianggap otorier. terdapat 7 tuntutan aksi reformasi dikorupsi pada saat itu.
  1. RKUHP
  2. Revisi UU KPK
  3. Isu Lingkungan
  4. RUU Ketenagakerjaan
  5. RUU Pertanahan
  6. RUU PKS
  7. Kriminalisasi Aktivis

Tak hanya kasus-kasus di atas yang menjadi saksi bisu lemahnya HAM di Indonesia, baru-baru ini terjadi penghapusan mural yang berisi kritik pada pemerintah yang terdapat di beberapa kawasan di Indonesia. Anehnya, mural yang menjadi perhatian aparat adalah mural-mural yang bernada kritik terhadap pemerintah. Sedangkan mural-mural lain dibiarkan begitu saja. Atas tindakannya tersebut aparat pemerintah dinilai terlalu reaktif dengan langsung menghapus mural yang mengkritik pemerintah.

Padahal, mural menjadi salah satu media berekspresi masyarakat yang seharusnya menjadi hak mereka untuk menyampaikan kritiknya. Tak cukup sampai di situ, pembuat mural bahkan sampai dikejar oleh aparat negara, padahal mereka hanya menyampaikan kritiknya melalui mural yang bahkan tidak menyebarkan kebohongan, tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Lalu, mengapa tindakan tersebut dilakukan oleh aparat pemerintahan? Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro pun menerangkan bahwa sikap ini bukan berarti pemerintah atau Presiden Joko Widodo anti kritik. Namun menurut Juri, pembuatan mural yang diduga menyerang Jokowi itu malah mencerminkan adanya kekeliruan persepsi dan praktik demokrasi yang harus segera diluruskan.

"Jika kritik dimaknai sebagai bagian demokrasi, maka tidak boleh mengabaikan elemen-elemen yang mendasarinya," kata Juri, Jumat (3/9). "Sebut saja di antaranya kepatuhan hukum, etika, dan estetika demi menjaga ketertiban sosial."

"Mural-mural yang sengaja ditebarkan yang baru-baru ini menyerang Presiden Joko Widodo adalah cermin dari perbuatan yang justru keluar dari ketiga unsur tersebut," sambungnya. "Karena mengganggu ketertiban sosial dan kepatuhan hukum, minim nilai-nilai etika dan estetika."

Dalam keterangannya, Juri menjelaskan bahwa kritik terhadap pemerintah seharusnya mengandung semangat serta unsur yang membangun. Selain itu, bisa juga dicantumkan solusi atas masalah yang dikritik.

Merespon tindakan yang dilakukan aparat pemerintah yang dinilai responsif destruktif dan anti kritik tersebut, komunitas seniman Genjayan Memanggil para seniman untuk mengikuti aksi yang merupakan protes mereka akan tindakan penghapusan mural ini. Aksi tersebut dilakukan dengan penyelenggaraan lomba mural dengan pemenang yang ditentukan oleh cepatnya mural tersebut di hapus oleh pemerintah. Hal ini dilakukan karena menurut mereka langkah penghapusan mural atau gambar di dinding yang diambil oleh pemerintah ini dinilai keliru. Seharusnya gambar-gambar yang tersaji di jalanan ini mendapatkan apresiasi, bukan malah dianggap tindakan kriminal dan menghapusnya dengan dalih minim nilai-nilai etika dan estetika. Karena mural merupakan salah satu media untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang menjadi hak asasi setiap individu dan menghapusnya berarti sama saja dengan melanggar hak asasi tersebut. (Sospol BEM FKM Undip)


DAFTAR PUSTAKA

Inggried Dwi Wedhaswary (2020). Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Semanggi II Halaman 3 - Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/24/125500865/hari-ini-dalam-sejarah--tragedi-semanggi-ii?page=3 Diakses Pada 10 September 2021

Handi, F. (2021, Agustus 24). Lomba Mural Digelar di Yogyakarta, Mural yang Paling Cepat Dihapus Aparat Menjadi Pemenangnya. Diambil kembali dari WARKOTAlive.com : https://wartakota.tribunnews.com/2021/08/24/lomba-mural-digelar-di-yogyakarta-mural-yang-paling-cepat-dihapus-aparat-menjadi-pemenangnya?page=2

KontraS. (2020, Juni 1). Tragedi 1965 - 1966. Diambil kembali dari kontras.org: https://kontras.org/kasus65/

Raditya, I. N. (2019, September 12). Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam . Diambil kembali dari tirto.id : https://tirto.id/sejarah-tragedi-tanjung-priok-kala-orde-baru-menghabisi-umat-islam-cwpi

WowKeren, T. (2021, September 3). Deputi IV KSP Juri Ardiantoro Menjelaskan Alasan Mengapa Mural Kritik Terhadap Presiden Joko Widodo Pada Akhirnya Dihapus Meski Pemerintah Menegaskan Menerima Segala Masukan. Diambil kembali dari wowkeren.com : https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00383283.html







No comments